Jumat, 03 Januari 2014

isnuansa dot com: Pakai Transportasi Umum Untuk Mengurangi Kontribusi Polusi

isnuansa dot com: Pakai Transportasi Umum Untuk Mengurangi Kontribusi Polusi


Pakai Transportasi Umum Untuk Mengurangi Kontribusi Polusi

Posted: 02 Jan 2014 05:26 PM PST

Sebelum memiliki anak, saya adalah pengguna setia angkutan umum. Kemanapun dan kapanpun. Untuk berangkat ke kantor, saya berganti dua kali angkutan. Naik angkot satu kali, dan naik kopaja satu kali. Pulang ke rumah, saya malah harus berganti angkutan umum tiga kali, karena salah satu rutenya tanggung. Mau jalan kaki lumayan lama -dan lagipula tidak ada trotoar yang bisa menjamin keselamatan saya dalam berjalan kaki-, tetapi naik angkutan umum juga cuma 5 menit doang. Rutinitas di atas angkutan umum ini mesti saya jalani, walaupun harus ketemu copet dan pemalak pengemis yang suka silet-silet lengan atau pakai jurus baru keluar dari penjara.

Setelah memiliki anak, saya sekarang naik motor ke kantor. Bukan, bukan karena takut sama copet, bukan karena badan capek naik turun angkutan umum, tetapi karena saya pengen sedikit menghemat waktu. Lumayan, dengan mengendarai sepeda motor sendiri, saya cukup membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai kantor. Berbeda jika saya menggunakan angkutan umum, minimal saya membutuhkan 1,5 jam sekali jalan, itupun kalau sopirnya nggak banyak ngetem dan jalanan lagi nggak macet. Lumayan, waktu 2 jam bisa buat ngurus anak.

Ada sedikit penyesalan juga saya beralih dari angkutan umum ke kendaraan pribadi, karena dengan demikian, saya jadi salah satu penyumbang polusi di Jakarta. Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi terburuk di dunia, setelah Meksiko dan Panama. Nggak heran, karena jumlah konsumsi bahan bakar bersubsidi (premium dan solar) di Jakarta mencapai 9 juta liter per hari, khusus untuk kendaraan bermotor. Angka 9 juta liter itu, kalau dikonversikan jumlah polusi yang dihasilkan menjadi 27 juta kilogram gas karbon dioksida di udara Jakarta.

Udara tersebut yang saya hirup setiap harinya. Hiks. Kebayang kan gimana tidak sehatnya manusia-manusia yang tinggal di Jakarta selama ini, karena setiap harinya terpapar oleh polusi.

Salah satu solusi untuk menurunkan polusi yang ada, tentunya dengan menaiki angkutan umum, bukan sebaliknya kayak saya ini. *pentung diri sendiri* Apalagi, pemprov Jakarta sudah mulai menambah jumlah armada bus TransJakarta dan bajaj yang menggunakan bahan bakar gas. Jumlahnya nggak tanggung-tanggung, 1.000 buah bus TransJakarta! Jadi, angkutan umum bakalan makin nyaman karena jumlahnya banyak, nggak perlu lagi antri lama nunggu bus TransJakarta ada.

Saya baca, Gubernur Jokowi sempat dipertanyakan kebijakannya karena membeli tambahan armada bus TransJakarta yang berbahan bakar gas, bukan yang berbahan bakar minyak. Takutnya pasokan gasnya tidak mencukupi, sedangkan jika berbahan bakar minyak, pasokannya ada dan stasiun pengisian bahan bakarnya telah siap dan banyak. Karena penasaran, saya cari lebih lanjut soal bahan bakar gas ini. Kenapa sih, Jokowi segitu ‘ngototnya‘ milih bahan bakar gas dibanding bahan bakar minyak.

Ternyata, program konversi transportasi umum dari BBM ke BBG ini adalah salah satu upaya mengurangi polusi udara. Penggunaan gas alam akan mengurangi jumlah emisi yang dihasilkan ke udara. Dengan bahan bakar gas, jumlah karbon dioksida yang dihasilkan akan berkurang hingga 30%nya. Gas karbon monoksida akan berkurang hingga 75% dan nitrogen akan menurun hingga 50%. Angka yang cukup signifikan, bukan? Gas bumi dipercaya sebagai energi yang lebih baik dan bersih.

Isi BBG Pakai Transportasi Umum Untuk Mengurangi Kontribusi Polusi

Sedikit masalah yang mungkin timbul adalah jumlah SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas) dan MRU (mobile refueling unit) yang akan mengisi transportasi umum tersebut. Memang masih terbatas sih, tetapi PGN (Perusahaan Gas Negara) sudah bertekad kuat mendukung program pemprov DKI Jakarta tersebut agar dapat segera terwujud. Saya juga senang sih, kalau punya kota yang lebih nyaman dan berkurang polusinya.

Ngomong-ngomong soal gas bumi, saya jadi malu karena dulu pada saat awal-awal pengenalan bajaj berbahan bakar gas, yang ada di bayangan saya adalah gas elpiji yang setiap hari dipakai buat masak di dapur itu. Jadi ya, saya kira nanti bajaj itu dilengkapi dengan tabung gas yang bisa diisi ulang, sama persis dengan yang ada di dapur itu. Kalau habis gasnya, tinggal tuker tabungnya, atau di tukang bajaj bawa stok tabung gas di belakang. Ah, jadi malu sendiri. Nggak kepikiran, gimana caranya mesin kendaraan bermotor bisa jalan dengan gas elpiji.

Ternyata, gas bumi dengan elpiji itu dua barang yang berbeda yaaa~ Gas bumi dihasilkan dari cadangan gas di alam, sedangkan elpiji adalah gas yang diproduksi dari sisa hasil proses minyak bumi. Kalau elpiji didistribusikan di Indonesia dalam bentuk tabung yang sudah sering kita jumpai di dapur-dapur kita, kalau gas bumi ini ditangani secara khusus oleh BUMN milik pemerintah, PGN. Seluruh jaringan pipa gas bumi di Indonesia (sepanjang kurang lebih 6 ribu kilometer) berada di dalam tanah, sehingga pendistribusiannya tidak terlihat oleh kita sehari-hari.

Apppaaa!? Ada pipa distribusi gas bumi di bawah tanah? Saya sih selama ini tahunya yang ada di bawah tanah palingan kabel telephone doang. Ah, pengetahuan saya soal gas bumi ini ternyata emang masih cetek banget.

Pipa jaringan gas bumi ini ternyata selama ini sudah banyak digunakan oleh perumahan, hotel dan industri ya. Saya baru tahu. Ya wajar aja baru tahu ya, namanya juga nggak kelihatan. Mana sempat mikirin barang yang nggak kelihatan? Hahahaha… Gas bumi ini rupanya dimanfaatkan untuk kompor, pemanas air, dryer, ataupun heater.Selain untuk perumahan, hotel dan industri itu tadi, gas bumi ini yang paling bisa kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari ya buat bahan bakar kendaraan bermotor.

Akhirnya saya bisa ngerti juga, kenapa Jokowi ngotot pengen pakai gas bumi untuk armada TransJakarta dan bajaj-nya. Ya karena lebih ramah lingkunganlah ya, tentu saja…

Kota Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi diharapkan akan segera bertransformasi menjadi kota gas, dimulai dengan langkah tegas Jokowi melakukan konversi armada TransJakarta dari semula berbahan bakar minyak menjadi BBG. Kloplah itu semua dengan komitmen PGN sebagai pendistribusi gas bumi untuk menjadikan 'Jakarta Kota Gas'. Udah ada SPBG milik PGN ini di Pondok Ungu, Bekasi, lho. Bulan Mei lalu PGN juga mengeluarkan 1 SPBG berjalan atau disebut MRU (mobile refueling unit) di parkir IRTI Monas. Saya jadi pengen punya pengalaman melihat gimana caranya ngisi gas ke kendaraan. Selama ini belom pernah lihat. Apa mirip juga dengan ngisi BBM? Mungkin kayak ngisi angin di tukang tambal ban itu kali ya, hehehe…

Pokoknya, untuk mendukung program transportasi massal berbahan bakar energi yang lebih baik dan bersih, saya setuju kalau pemprov DKI Jakarta menambah lebih banyak lagi armada bus TransJakarta dan bajaj berbahan bakar gas. Biar saya mulai semangat lagi naik kendaraan umum. Beberapa bulan kemarin udah mulai lagi, kok. Kalau jalan ke tempat agak jauh, saya dari rumah naik motor trus diparkir di deket halte TransJakarta di daerah Senayan, baru deh naik TransJakarta sampai tempat tujuan. Bisa bobok cantik sebentar di dalam bus, dan yang pasti, mengurangi kontribusi saya pada polusi Jakarta.

Kalau teman-teman, sudahkah menggunakan transportasi umum di keseharian? icon wink Pakai Transportasi Umum Untuk Mengurangi Kontribusi Polusi

Tidak ada komentar: